Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang keberadaannya semula diatur dalam Stb. 1882 Nomor 158, Stb. 1936 Nomor 116 dan 610, Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 dan selanjutnya Rakyat Indonesia menghendaki agar eksistensi Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Dasar, sehingga pada pada era reformasi yang ditandai dengan terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Peradilan Agama telah dimasukkan dalam salah satu dari empat lembaga peradilan di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang kekuasaan kehakiman Pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Selanjutnya oleh pemerintah bersama-sama dengan legislatif telah menerbitkan instrumen hukum dalam bentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya oleh legislatif bersama dengan eksekutif juga telah menyatakan undang-undang tersebut tidak berlaku lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Selanjutnya oleh Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 yang pada pokoknya menjadikan lembaga peradilan di Indonesia satu atap di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sementara itu dalam pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.
Selanjutnya undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga norma Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tersebut selanjutnya dimuat dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Sebagai peraturan organik dari dua instrumen hukum pada dua periode Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, khusus untuk Peradilan Agama, lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian pada tahun 2009 diberlakukan pula Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengadilan Agama Stabat sebagai lembaga yudikatif yang menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara bagi masyarakat pencari keadilan di wilayah Kabupaten Langkat mempunyai tugas pokok melayani masyarakat di bidang hukum yang dalam pelaksanaannya harus transparan, akuntabel, dapat di akses oleh publik, hal ini merupakan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas. Dalam penjelasan mengenai pasal tersebut, dirumuskan bahwa asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.